🥊 Berharap Hanya Kepada Allah Bukan Manusia
Jika saat ini Anda juga sedang mengajukan pertanyaan itu, mari datang kepada Kitab Suci dan merenungkannya bersama. Ada banyak kitab yang berlainan dalam Alkitab, tetapi jika ada satu kesamaan yang mengikatkan semuanya, itu adalah kasih. Allah bukan sekadar memiliki kasih -- Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:8).
MEMINTADAN BERHARAP HANYA KEPADA ALLAH. Posted on 21/04/2019 by admin. Dari Allah, bukan dari manusia. Tidak boleh kita iri kepada orang lain, dan tidak boleh dengkikepada orang lain, tapi minta kepada siapa? Kepada Allah. Allah sebutkan dalam SuratAn-Nisaa' ayat 32:
Sahabat ketika kita hanya menggantungkan harapan kepada Allah swt, Apapun yang kita kerjaka, apapun yang kita lakukan, baik itu hijrah, jihad, sedekah, menolong orang lain dan sebagainya. hal tersebut tidak akan membuat hati kita kecewa, bahkan motivasi kita untuk melakukan hal tersebut akan lebih tinggi.
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَب. Latin: Wa ila rabbika fargab. Artinya: “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. Lafadz tersebut menjelaskan bahwa hanya kepada Allah lah hendaknya kamu berharap akan doa dan permohonanmu. Jangan arahkan kepada selain Tuhanmu, karena hanya Dialah yang Maha berkuasa lagi Maha
Maka berharaplah hanya pada Allah. Lakukanlah saja untuk Allah. Rasakanlah saja bahwa Allah tidak pernah meninggalkanmu. Meski banyak sekali perilaku kita yang menyakiti Allah, namun Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk mau mengakui kesalahan dan tidak mengulanginya lagi pada kehidupan kita. Allah maha tahu apa yang terjadi pada
32. Berharapanlah kepada Tuhan, jangan terlalu berharap pada manusia. Karena sumber pengharapan itu hanya berasal dari Tuhan. 33. Dalam suatu hubungan, jangan terlalu berharap karena jika sesuatu tak sesuai harapan hanya kesedihan yang kamu dapatkan. 34. Terlalu berharap akan menyakitimu, namun itu bukan alasan untuk menyesali diri.
Ibrahim 37) Kedua, setelah anaknya tersebut tumbuh besar, saat hati Nabi Ibrahim sangat bahagia melihatnya beranjak dewasa. Tapi, Allah dengan hikmah-Nya justru memerintahkan untuk menyembelihnya. Ujian dan perintah yang berat tentunya. Namun sekali lagi, beliau tunduk dan taat, kerena cinta kepada Allah.
Sebagai manusia, berharap memang merupakan hal yang wajar. Namun, sebaiknya kita tidak terlalu berharap kepada orang lain. Sebab, hal tersebut justru akan berisiko lebih mengecewakan jika segala yang diinginkan tak sesuai. Untuk bisa selalu menjadi pengingat, Anda bisa membaca kata-kata tentang jangan terlalu berharap.
Maka selama hidup pastin akan dipaksa menemui sebuah kejadian untuk kita memanggil dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahuwata’ala,”. Nah itu tadi penjelasan mengenai benarkah manusia debelum dilahirkan ditanya oleh malaikat 77 kali sehari? Pada dasarnya sebelum terlahir ke dunia, manusia telah terikat perjanjian dengan Allah SWT.
. Jangan Terlalu Mengharapkan Bantuan Sama Orang Lain Kita pasti pernah berharap sama manusia. Misalnya berharap balasan kenaikan gaji? Berharap penawaran spesial jabatan? Berharap dicintai balik? Namun, apa yang kita rasakan saat cita-cita tersebut tidak terwujud? Atau cuma menjadi lamunan semata? Pastinya kecewa, sedih dan marah kan? Kenapa hal itu bisa terjadi? Mempunyai impian dan keinginan adalah hal yang normal. Namun kalau mengharapkan bantuan kepada Makhluk, maka kita akan senantiasa memikirkan itu bahkan sampai terobsesi dan lupa pada realita. Jika telah lupa pada realita akan menciptakan logika sehat kita tertutup. Padahal realita tidak senantiasa indah. Bisa saja harapan tersebut sirna dan menciptakan tertekan dan kecewa. Lalu semestinya apa yang mesti dilaksanakan biar tidak terlalu berharap lebih pada selain Allah? supaya menghalangi rasa kecewa dan marah? apalagi saat impian selama ini tak menjadi realita? Rasa kecewa muncul kalau menggantungkan impian yang terlalu tinggi pada orang lain. Padahal orang Lain mempunyai kekurangan. Mereka sama mirip kita, makhluk tak berdaya tak berkekuatan kecuali atas izin Allah SWT. Karena itu mari kita minimalkan berharap banyak selain Allah. Cukup Allah saja. Sayyidina Ali pernah berkata “Aku telah pernah mencicipi semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap terhadap insan.” Ali bin Abi Thalib Imam Syafi’i berkata “Ketika kau berlebihan berharap pada seseorang, maka Allah akan timpakan padamu pedihnya impian-harapan kosong. Allah tak suka jika ada yang berharap pada selain Dzat-Nya, Allah menghalangi cita-citanya semoga ia kembali berharap cuma kepada Allah SWT.” Sebaik-baiknya berharap hanyalah kepada Allah Allah berfirman dalam surat Al insyirah ayat 8 وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَارْغَبْ “dan cuma kepada Rabb-mu hendaknya kamu berharap” Pernahkah kita berdoa meminta pada Allah Subhanahu wa Ta’ala? Allah SWT adalah Rabb sang Pencipta ummat manusia dan seluruh makhluk di dunia ini. Dia Maha Mendengar Doa para hamba-Nya. Dialah Allah Khalik di alam semesta ini. Apabila seseorang hanya berharap kepada Allah, maka Inshaa Allah apapun kesudahannya, kita akan pasrah dan damai, sebab itu telah kehendak-Nya. Seseorang akan menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah. Sekalipun yang diterima berlawanan dengan apa yang diinginkannya. Status Jangan Berharap Lebih Pada Orang Lain, cukuplah pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu Alam.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Jangan berharap kepada manusia, karena engkau akan kecewa, berharaplah kepada Allah, niscaya engkau tidak akan pernah kecewa. Sudah beberapa kali saya membaca kalimat ini, entah itu status orang ataupun di PM. Mari kita telaah sedikit apa sebenarnya arti kalimat itu. Kita mungkin salah satu orang yang pernah menempel PM tersebut di medsos, bbm atau WA, tapi mengertikah kita artinya atau itu hanya sebentuk kalimat sederhana yang akan berlalu begitu saja dan mudah dilaksanakan. Kalimatnya sih sederhana dan sangat betul sekali, jangan berharap kepada manusia tapi berharaplah kepada Allah, lantas bagaimana penerapannya ? sementara kita seringkali mengucapkan kalimat2 seperti "semoga Accounting ngk telat transfer gaji bulan ini ?" atau "semoga Ibu kos ngk nagih bayaran kosan hari ini" atau "semoga direksi ngk jadi ke kantor cabang hari ini" dan jenis2 kalimat lain yang isinya mirip2. Bukankah kalimat2 yang kita ucapkan itu sebenarnya sama halnya dengan "berharap kepada manusia", padahal lucunya di PM kita terpampang kalimat " Jangan berharap kepada manusia, karena engkau akan kecewa, berharaplah kepada Allah, niscaya engkau tidak akan pernah kecewa". Menulis hal ini bukanlah patokan bahwa saya tahu, justru karena saya tidak tahu dan ingin tahu maknanya, saya jadi berkeinginan menulis ini, membuat saya mencari sedikit bacaan lalu merenunginya. Pada intinya, semua yang ada di bumi bergerak atas ijin Allah SWT, semua dibawah kendalinya. Kita bisa makan, tersenyum, bergerak kesana kesini, berkata kata, atau merasa sedih semua adalah kendaliNya, kita ini ibarat boneka, hanya saja kita diberi hati untuk merasakan dan akal untuk berpikir. Nah, itulah dasar tulisan ini, bahwa pada akhirnya kita ini hanya boneka, hanya menerima saja aturanNya. lalu bagaimana cara kita berharap bukan kepada manusia tapi hanya kepada Allah ? jawabannya tentu saja kita harus taat kepada Allah, kita harus mendekatiNya, jangan menjauh dariNya, karena semakin kita menjauh Dia juga akan jauh, tapi ketika kita mendekat Dia akan semakin mendekat. Jika kita punya masalah dengan atasan kita, jangan pusing dengan pemikiran saya harus gimana ke bos, saya harus melakukan apa, tapi pertama curhatlah kepada Allah SWT, jika kita masih berpikir pertama kali "saya harus gimana ke bos" itu artinya kita masih berharap kepada manusia. Coba begitu ada masalah dengan atasan, pertama berdoalah dulu kepada Allah SWT, karena Allah jualah yang menguasai hati dan pikirin bos kita, karena bos kita itu hanya makhluknya, hanya bonekanya Allah. Setelah berdoa, baru berpikir melakukan apa ke bos. Itu baru perbuatan benar yang mencerminkan "jangan berharap kepada manusia tapi berharap kepada Allah". Mari kita rayu Allah sebanyak banyaknya agar hati kita merasa dekat denganNya, ketika dekat, maka insyaAllah kita akan lebih mudah meminta KepadaNya. Dekat dengan anggota DPR, pejabat polisi atau walikota saja kita sudah merasa hebat dan merasa ada Backingan, apalagi ketika dekat dengan Allah yang menguasai jiwa semua pejabat itu. Sobat, Allah itu jauh jauuuuh lebih tinggi dari anggota dewan, walikota atau presiden, tapi kebanyakan prilaku kita tidak mencerminkan itu. Lihat betapa bangganya kita ketika merasa kenal dengan walikota padahal hanya sebatas kenal bukan dekat lho, trus betapa sombongnya kita ketika ada saudara yang menjadi pejabat tinggi di kepolisian "saya mah ada backingan di kepolisian", itu prilaku yang kita temui sehari hari. Mari kita beristiqfar, betapa selama ini kita tidak menomorsatukan Allah dalam kehidupan kita, sadar atau tidak sadar prilaku kita itu mencerminkan itu, walaupun kata2 atau status kita berkata menomorsatukan Allah. Mari mohon ampun kepada Allah sebanyak banyak...Mari menjadi pribadi yang lebih baik di siang hari yang mendung. Lihat Humaniora Selengkapnya
Oleh Salim A Fillah aku percayamaka aku akan melihat keajaibaniman adalah mata yang terbukamendahului datangnya cahaya“Aku”.Jawaban Musa itu terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling alim di muka bumi, Musa menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23 ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang keenampuluh mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata, “Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.”Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad Shallallaahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.”Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, Alaihis Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras itu, setelah ucapannya yang jumawa, Musa menerima perintah untuk berjalan mencari titik pertemuan dua lautan. Musa berangkat dikawani Yusya ibn Nun yang kelak menggantikannya memimpin trah Ya’qub. Suatu waktu, Yusya melihat lauk ikan yang mereka kemas dalam bekal meloncat mencari jalan kembali ke lautan. Awalnya, Yusya lupa memberitahu Musa. Mereka baru kembali ke tempat itu setelah Musa menanyakan bekal akibat deraan letih dan lapar yang menggeliang dalam sanalah mereka bertemu dengan seseorang yang Allah sebut sebagai, “Hamba di antara hamba-hamba Kami yang kamu anugerahi rahmat dari arsa Kami, dan Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Padanyalah Musa berguru. Memohon diajar sebagian dari apa yang telah Allah fahamkan kepada Sang Guru. Nama Sang Guru tak pernah tersebut dalam Al Quran. Dari hadits dan tafsir lah kita berkenalan dengan telah akrab dengan kisah ini. Ada kontrak belajar di antara keduanya. “Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar. Dan aku takkan mendurhakaimu dalam perkara apapun!”, janji Musa. “Jangan kau bertanya sebelum dijelaskan kepadamu”, pesan Khidzir. Dan dalam perjalanan menyejarah itu, Musa tak mampu menahan derasnya tanya dan keberatan atas tiga perilaku Khidzir. Perusakan perahu, pembunuhan seorang pemuda, dan penolakan atas permohonan jamuan yang berakhir dengan kerja berat menegakkan dinding yang nyaris minta kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang sempurna’ terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan semuanya.”Kita juga belajar bahwa membunuh’ bibit kerusakan ketika dia baru berkecambah adalah pilihan bijaksana. Dalam beberapa hal seringkali ada manfaat diraih sekaligus kerusakan yang meniscaya. Padanya, sebuah tindakan didahulukan untuk mencegah bahaya. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih.. Mencegah kerusakan didahulukan atas meraih kemashlahatan.”Dan dari Khidzir kita belajar untuk ikhlas. Untuk tak selalu menghubungkan kebaikan yang kita lakukan, dengan hajat-hajat diri yang sifatnya sesaat. Untuk selalu mengingat urusan kita dengan Allah, dan biarkanlah tiap diri bertanggungjawab padaNya. Selalu kita ingat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sultan yang dimakan fitnah memenjarakan dan menyiksanya. Tapi ketika bayang-bayang kehancuran menderak dari Timur, justru Ibnu Taimiyah yang dipanggil Sultan untuk maju memimpin ke garis depan. Berdarah-darah ia hadapi air bah serbuan Tartar yang bagai awan gelap mendahului fajar hendak menyapu musuh terhalau, penjara kota dan siksa menantinya kembali. Saat ditanya mengapa rela, ia berkata, “Adapun urusanku adalah berjihad untuk kehormatan agama Allah serta kaum muslimin. Dan kezhaliman Sultan adalah urusannya dengan Allah.”Iman dan Keajaiban yang MengejutkanSubhanallah, alangkah lebih banyak lagi ibrah yang bisa digali dari kisah Musa dan Khidzir. Berlapis-lapis. Ratusan. Lebih. Tapi mari sejenak berhenti di sini. Mari picingkan mata hati ke arah kisah. Mari seksamai cerita ini dari langkah tertatih kita di jalan cinta para pejuang. Mari bertanya pada jiwa, di jalan cinta para pejuang siapakah yang lebih dekat ke hati untuk diteladani?Musa. Bukan Karena di akhir kisah Sang Guru mengaku, “Wa maa fa’altuhuu min amrii.. Apa yang aku lakukan bukanlah perkaraku, bukanlah keinginanku.” Khidzir hanyalah’ guru yang dihadirkan Allah untuk Musa di penggal kecil kehidupannya. Kepada Khidzir, Allah berikan semua pemahaman secara utuh dan lengkap tentang jalinan pelajaran yang harus ia uraikan pada Rasul agung pilihanNya, Musa Alaihis Salaam. Begitu lengkapnya petunjuk operasional dalam tiap tindakan Khidzir itu menjadikannya sekedar sebagai operator lapangan’ yang mirip malaikat. Segala yang ia lakukan bukanlah perkaranya. Bukan orang yang menyebut diri Sufi mengklaim, inilah Khidzir yang lebih utama daripada Musa. Khidzir menguasai ilmu hakikat sedang Musa baru sampai di taraf syari’at. Maka seorang yang telah disingkapkan baginya hakikat, seperti Khidzir, terbebas dari aturan-aturan syari’at. Apa yang terlintas di hati menjadi sumber hukum yang dengannya mereka menghalalkan dan mengharamkan. Ia boleh merusak milik orang. Ia boleh membunuh. Ia melakukan hal-hal yang dalam tafsir orang awwam menyimpang, dan dalam pandangan syari’at merupakan sebuah pelanggaran Al Qurthubi sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Barii, membantah tafsar-tafsir ini. Pertama, tidak ada tindakan Khidzir yang menyalahi syari’at. Telah kita baca awal-awal bahwa semua tindakannya pun kelak bersesuaian dengan kaidah fiqh. Bahkan dalam soal membunuh pun, Khidzir tidak melanggar syari’at karena ia diberi ilmu oleh Allah untuk mencegah kemunkaran dengan tangannya. Alangkah jauh tugas mulia Khidzir dengan apa yang dilakukan para Sufi nyleneh semisal meminum khamr, lalu pengikutnya berkata, “Begitu masuk mulut, khamr-nya berubah menjadi air!”Tidak sama!Kedua, setinggi-tinggi derajat Khidzir menurut jumhur ulama adalah Nabi di antara Nabi-nabi Bani Israil. Sementara Musa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran istimewa Rasul Ulul Azmi bersama Nuh, Ibrahim, Isa, dan Musa jauh lebih utama daripada Khidzir.“Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” Al A’raaf 144Ketiga, Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka dalam Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti jalan cinta para pejuang. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul Azmi menjadi mungkin kita teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Dengan iman. Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak pernah tahu apa yang menanti di mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka. BACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini
berharap hanya kepada allah bukan manusia